Oleh Jen Tatuh
Sistem Bimas padi identik dengan sistem agribisnis beras.
Pada pertengan tahun 1960an, IPB mengadakan demonstrasi praktek usahatani padi sawah dengan teknologi yang lebih maju, yang dikenal dengan sebutan Demonstrasi Masal. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas padi sawah secara substansial dapat dicapai, berarti ada harapan bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari krisis pangan. Keberhasilan dari demonstrasi masal ini telah menjadi alasan pemerintah masa itu untuk diperluas penerapannya menjadi sebuah gerakan nasional dengan nama baru, yakni Bimas (Bimbingan Masal), identik dengan penyuluhan masal.
Pada pertengan tahun 1960an, IPB mengadakan demonstrasi praktek usahatani padi sawah dengan teknologi yang lebih maju, yang dikenal dengan sebutan Demonstrasi Masal. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas padi sawah secara substansial dapat dicapai, berarti ada harapan bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari krisis pangan. Keberhasilan dari demonstrasi masal ini telah menjadi alasan pemerintah masa itu untuk diperluas penerapannya menjadi sebuah gerakan nasional dengan nama baru, yakni Bimas (Bimbingan Masal), identik dengan penyuluhan masal.
Dalam perkembangannya, sistem Bimas mengalami
penyempurnaan-penyempurnaan, masing-masing dengan nama yang berbeda-beda, yakni
Inmas (Intensifikasi Masal), Insus (Intensifikasi Khusus), dan Supra Insus. Perbedaannya
hanya pada pola intensifikasi dan kelembagaan, tetapi hakikatnya tetap sama.
Pada awal tahun 1970an, sistem Bimas menemukan bentuknya
yang lebih kompak dengan diintroduksinya konsep “Catur Sarana Unit Desa”.
Menurut konsep ini, unsur (1) Penyuluh/Penyuluhan berperan dalam mengintroduksi
teknologi baru usahatani padi sawah (teknologi “revolusi hijau”); ditopang oleh
(2) pemasokan sarana produksi melalui BUUD; (3) layanan kredit oleh BRI Unit
Desa; dan (4) jasa pengolahan dan pemasaran hasil oleh KUD.
Dalam perspektif penyuluhan, Bimas disebut sebagai sistem
penyuluhan, di mana penyuluhan diposisikan sebagai the leading component (komponen memimpin). Komponen yang lainnya
ialah sumber teknologi, informasi, dan pengetahuan; pemasok sarana produksi; perkreditan;
pengolahan hasil dan pemasaran.
Dalam perspektif sistem komoditas, Bimas identik dengan
sistem agribisnis beras, (lihat kembali diagram sistem agribisnis dalam artikel
berjudul "Agribisnis Sebagai sebuah Sistem"), terdiri atas lima komponen atau sub-sistem: (1) agriindustri hulu (pemasok sarana
produksi); (2) agriservis (jasa penunjang penyuluhan, perkreditan, teknologi,
informasi, dlsb); (3) agriproduksi (usahatani padi sawah; komponen produksi
primer); (4) agriindustri hilir (pengolahan pasca panen); dan (5) agriniaga
(jasa distribusi, pemasaran).
Sistem Bimas telah berakhir;
apakah sistem agribisnis beras juga telah berakhir? Tentu saja tidak,
sistem agribisnis beras tetap eksis. Perbedaan utama sistem agribisnis beras
Bimas dan yang ada saat ini ialah pada sumber pengendali mekanisme kerja
sistem. Pengendali mekanisme sistem agribisnis beras saat ini ialah pasar,
sedangkan pengendali sistem agribisnis beras Bimas ialah pemerintah (mekanisme
adminitratif). Keberhasilan sistem agribisnis Bimas ialah tercapainya swa-sembada
beras nasional pada tahun 1984, hampir 20 tahun setelah lahirnya Bimas.
Basik dari sistem agribisnis ialah sistem komoditas. Setiap komoditas
yang diproduksi dengan berorientasi pada pasar ada sistem agribisnisnya, apapun
sumber pengendali mekanisme kerja sistem.
*)Diangkat
dari buku ajar: “Agribisnis: Konsep
Dasar dan Perspektif Pengembangan”. Prodi Agribisnis, Fak. Pertanian Unsrat
2004, disusun oleh Jen Tatuh.
No comments:
Post a Comment
Tulislah diskusi, pendapat, komentar, atau pertanyaan Anda di dalam kotak di bawah ini. Please do it wisely! Thanks